Jumat, 12 November 2010

Dampak Aborsi

RESIKO ABORSI Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia “tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang”. Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi. Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi: 1. Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik 2. Resiko gangguan psikologis Resiko kesehatan dan keselamatan fisik Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu: 1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat 2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal 3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan 4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation) 5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya 6. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita) 7. Kanker indung telur (Ovarian Cancer) 8. Kanker leher rahim (Cervical Cancer) 9. Kanker hati (Liver Cancer) 10. Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya 11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy) 12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease) 13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis) Resiko kesehatan mental Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994). Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini: 1. Kehilangan harga diri (82%) 2. Berteriak-teriak histeris (51%) 3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%) 4. Ingin melakukan bunuh diri (28%) 5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%) 6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%) Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya. Sumber : http://www.aborsi.org/resiko.htm

Rabu, 03 November 2010

Tes untuk Mengetahiui Kelamin Bayi

Liputan6.com, London: Sebuah tes baru yang dapat mengetahui jenis kelamin bayi bahkan ketika janin baru berumur 7 minggu telah tersedia di beberapa negara. Cara ini diketahui lebih efektif jika dibandingkan dengan tes yang menggunakan metode Ultrasound Scan. Seperti dikutip dari Medindia, Selasa (2/10), tes ini bekerja dengan mendeteksi keberadaan kromosom Y yang terkandung dalam darah sang ibu, tes tersebut bahkan dapat dilakukan setelah 7 minggu pembuahan terjadi. Menurut para ahli, makin dini mengetahui jenis kelamin janin, akan makin baik memprediksi penyakit yang diderita bayi dalam kandungan. Walaupun memiliki banyak keuntungan, tetapi tes ini juga menimbulkan protes dari para praktisi ginekologi yang khawatir akan meningkatnya jumlah wanita yang melakukan aborsi. Mereka beranggapan bahwa jika wanita mengetahui jenis kelamin calon bayinya dan tidak menginginkannya biasanya para wanita tersebut berinisiatif untuk mengaborsi janinnya. "Kita harus ingat bahwa jenis kelamin janin tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan untuk melakukan aborsi, sehingga mereka yang ingin melakukannya harus melakukannya secara ilegal," kata Profesor Abraham Steinberg, irektur RS Shaare Zedek.(AYB) sumber: http://kesehatan.liputan6.com/berita/201011/304493/Tes.Untuk.Mengetahui.Kelamin.Bayi

Anak Tingkatkan rasa percaya Diri Wanita

Liputan6.com, Taiwan: Anak adalah anugerah terindah yang dimiliki setiap pasangan orang tua. Siapa sangka selain menghadirkan kebahagiaan, kehadiran seorang anak juga dapat meningkatkan rasa percaya diri seorang wanita. Demikian rilis Telegraph, Selasa (23/3). Menurut penelitian memiliki anak dapat memangkas peluang seorang wanita untuk melakukan bunuh diri. Peneliti juga mengatakan memiliki anak dengan alasan dapat meningkatkan kebahagiaan dan rasa percaya diri dapat dirasakan wanita pasca melahirkan. Menjadi seorang ibu lebih sering memiliki banyak jaringan dukungan sosial dibanding dengan wanita yang tidak mempunyai anak. Sebuah penelitian dengan melibatkan 1.292.462 wanita dengan usia di atas 20 tahun ditemukan bahwa ibu memang memiliki efek perlindungan. Wanita dengan dua anak 39 persen lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki kehidupan mereka sendiri daripada wanita yang hanya memiliki satu orang anak. Dan angka itu meningkat menjadi 60 persen di antara wanita yang memiliki tiga anak. "Yang jelas dari penelitian ini ditemukan kecenderungan ke arah pengurangan tingkat bunuh diri dengan meningkatkan jumlah anak-anak setelah usia pertama pengendalian kelahiran, status perkawinan, tahun di sekolah, dan pengiriman," kata Dr Chun-Yuh Yang, dari Kaoshiung Medical University di Taiwan. Mengingat bahwa perempuan yang masuk dalam studi ini tergolong masih muda (sebagian besar kematian akibat bunuh diri yang terjadi sebelum usia premenopause) dan termuda di antara yang dilaporkan untuk setiap negara, penemuan ini sangat penting. Yang menambahkan, "Kehadiran anak-anak dapat meningkatkan perasaan percaya diri seorang ibu, mungkin berdasarkan pada persepsi yang diperlukan."(AYB) Sumber: http://kesehatan.liputan6.com/berita/201003/269092/Anak.Tingkatkan.Kepercayaan.Diri.Wanita

10 Tanda wanita yang Percaya diri

1. Masuk dengan gaya Sebelum memasuki ruangan, periksalah kepercayaan diri Anda. Untuk memancarkan kepercayaan diri, Anda perlu memastikan bahwa Anda sudah nyaman dengan diri sendiri. Rasa ketidakpercayaandiri, malu-malu, atau rendah diri akan membuat orang-orang memalingkan wajahnya dari Anda. Jika Anda memasuki sebuah ruangan besar, Anda tak tahu siapa yang akan ada di ruangan tersebut, tujukan langkah Anda ke pojok belakang ruangan, dengan begini, kemungkinan terbesar orang yang mengenal Anda akan menyapa Anda sepanjang perjalanan tersebut. 2. Berani memulai Bagaimana bisa membuat diri Anda terlihat percaya diri jika masih memiliki phobia untuk memulai percakapan? Sebelum memasuki ruangan yang berisi orang-orang lain, buatlah diri Anda lebih bersemangat dan pikirkan apa yang bisa Anda dapatkan jika bisa berkenalan dengan banyak orang. Ketika Anda berada dalam sebuah situasi, di tempat yang sangat asing, tapi Anda harus duduk bersama orang yang belum Anda kenal selama berjam-jam, cobalah untuk memberanikan diri memulai. Palingkan wajah ke orang terdekat, senyum lebar dan tulus, kenalkan diri Anda seraya mengajak berjabat tangan. Mulailah bertanya seputar hal-hal umum, misal, nama, asal, dan seputar acara yang Anda hadiri tersebut. 3. Hadapi dengan anggun Akan ada saat-saat Anda bertemu dengan situasi yang tak mengenakkan, misal, Anda lupa nama seseorang. Jika hal ini terjadi, ingatlah bahwa hal semacam ini bisa saja terjadi pada siapa pun, jadi jangan terlalu berkecil hati. Langkah pertama yang bisa Anda lakukan adalah mengakui bahwa Anda melupakan namanya. Kedua, Anda bisa bergurau mengenai kelupaan tersebut. Harapannya, ia akan menyebutkan namanya kembali. Ketika ia menyebutkannya kembali, katakan, “Saya tak akan lupa lagi,” lalu lanjutkan percakapannya. 4. Cerita yang berkesan Cerita yang berkesan bisa jadi pencair suasana. Namun, perlu diingat, cerita tersebut, jika dimaksudkan untuk mencairkan suasana, harus yang memiliki pesan yang amat menyentuh atau sangat lucu. Ketika bercerita, pastikan Anda tidak melupakan detail-detail pentingnya. Gerak tubuh masih bisa diterima, asalkan masih dalam bentuk wajar dan natural. Namun, cerita yang menarik sebenarnya tidak terlalu perlu bumbu-bumbu gerakan yang berlebihan, yang penting adalah pemilihan kata-katanya. 5. Tetap tenang Ketika Anda merasa gugup dan perlu pengalih perhatian, coba lakukan aktivitas aerobik mendadak, misal, berlompat-lompat, atau berlari di tempat. Lalu cobalah untuk memfokuskan diri. Cari tempat tenang untuk menyendiri dan mengambil napas sejenak sebelum Anda memasuki ruangan. Lalu ambil napas dalam-dalam dan perlahan ketika memasuki ruangan dan menempati posisi Anda di hadapan orang lain. Jangan lupa untuk tersenyum kepada mereka sambil menatap mata mereka. 6. Vini, Vidi, Vici Ketika Anda menginginkan sesuatu, lakukanlah dengan perhitungan dan dengan bijak. Misal, saat Anda merasa sudah saatnya mendapatkan kenaikan gaji karena perbandingan pekerjaan yang Anda lakukan dan gaji yang didapat tidak seimbang. Jika memang ingin mendapatkan kenaikan, coba lakukan dengan cepat, tepat, dan sopan. Misal, di pagi hari, tanyakan padanya bahwa Anda ingin bicara dengannya, dan tanyakan kapan ia memiliki waktu luang untuk bicara. Ketika sudah berhadapan dengannya, katakan betapa Anda menyukai pekerjaan ini, jabatan Anda, juga sebutkan hasil pekerjaan terbaik yang Anda hasilkan. Lalu, tanyakan padanya, ” Mungkinkah Bapak/Ibu bisa mempertimbangkan kenaikan gaji untuk saya?” Jangan ucapkan angka spesifik kecuali ditanyakan. Akhiri percakapan dengan “Mengenai hal ini, tak perlu dijawab dengan segera.” Hal ini akan membuat bos Anda berpikir bahwa ia masih memiliki kontrol dan mudah-mudahan akan lebih dermawan dalam menawarkan kenaikan Anda. 7. Saat bernegosiasi Saat Anda akan melakukan sebuah negosiasi atau penawaran, jangan lupa untuk memperkaya diri dengan pengetahuan. Cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai apa yang Anda inginkan. Saat akan bernegosiasi, selalu minta lebih dari yang mereka tawarkan, dan tawarkan nilai di bawah limit Anda. Jika masih ragu, pikirkan kembali, baru putuskan keesokan harinya. 8. Hadapi ketakutan Rasa takut mirip dengan rasa sakit. Hal ini akan membantu Anda menunjuk hal yang mengganggu pikiran Anda. Ketika Anda menghadapi ketakutan akan sesuatu, cobalah untuk menghadapinya. Bayangkan situasi yang menakutkan tersebut di kepala Anda, lalu bayangkan langkah-langkah yang bisa Anda lakukan untuk menghadapi situasi tersebut. Lalu, alihkan pikiran tersebut ke hal yang menenangkan untuk Anda, misal, pinggir pantai atau mentari tenggelam. Saat melakukan perpindahan bayangan-bayangan tadi, jangan lupa untuk menjaga alur napas Anda agar tetap teratur. 9. Jangan terintimidasi Hentikan pikiran-pikiran negatif di kepala Anda, lalu visualisasikan diri Anda mendorong orang lain 100 langkah menjauh dari Anda. Bayangkan orang-orang tersebut sangat kecil dan berwarna hitam-putih. Ini akan menghilangkan rasa inferior di dalam Anda. Nah, lakukan hal ini ketika Anda merasa kurang percaya diri berada di tengah-tengah perbincangan dengan orang yang belum Anda kenal dekat. Ketika secara mental Anda sudah berhasil menempatkan landasannya, Anda akan menjadi orang yang merasa bahwa alur perbincangan itu berada di tangan Anda. Jangan lemparkan topik yang isinya bisa memicu kompetisi atau sifat defensif dari orang tersebut, tapi mulailah dengan pertanyaan-pertanyaan seputar hal yang personal. Jangan lupakan ketulusan. 10. Melemparkan lelucon Saat Anda akan melempar lelucon, jangan mengatakan bahwa Anda akan menceritakan lelucon, karena hal ini akan membuat si pendengar memasang ekspektasi tinggi, dan ketika cerita Anda tak terlalu lucu, malah akan terkesan garing. Lelucon yang lucu bisa dihubungkan dengan topik perbincangan sebelumnya, sehingga orang-orang akan merasa terhisap ke perkataan Anda itu, dan akan merasa lelucon Anda itu sangat lucu, karena datang tanpa diduga. Ketika lelucon Anda berhasil membuat orang tertawa, jangan tergoda untuk melontarkan lelucon lain. Biarkan mereka merasa ingin lebih dari Anda. Sumber: redbook, Editor: NF, kompas.com

kasus penyimpangan Seksual

JEMBRANA, TRIBUN-TIMUR.COM -- GA (18) pelaku pemerkosaan terhadap sapi di Jembrana mengaku tidak merasa bersetubuh dengan sapi melainkan dengan seorang wanita berwajah cantik. "Saat diinterogasi, anak ini mengaku merasa melihat wanita cantik. Dirinya pun merasa seperti terbang," ujar Ida Bagus Legawa. Legawa menambahkan, lokasi terjadinya persetubuhan GA dengan sapi itu dipercaya banyak warga sebagai tempat tinggal makhluk halus. Beberapa warga mengaku sering melihat seorang wanita cantik dan pria tampan di tempat tersebut. Menurut dia, jika perilaku itu dilakukan karena atas dasar hawa nafsu, maka itu tetap tidak benar. "Kondisi alam di situ memang penuh nuansa niskala (tidak nyata, Red)" ujarnya. Secara logika, imbuhnya, GA yang bertubuh pendek -sekitar 160 sentimeter- tidak mungkin alat kelaminnya akan dapat menyentuh alat kelamin sapi. "Apalagi dilakukan dengan posisi berdiri," ucap Legawa. Tetapi, katanya, sang pelaku yakin bahwa kala itu tidak sedang bersetubuh dengan sapi. "Melainkan dengan wanita cantik," ulang Legawa. Catatan Surya, kasus serupa pernah terjadi di Kabupaten Buleleng, Bali, Agustus 2008 silam. Kala itu, pelakunya adalah kakek bernama Nengah Sutarya. Perbuatan mesum ini dilakukan Sutarya di kandang sapi `malang' tersebut, di Desa Julah, Tejakula, Buleleng. Menurut Ketua Kelian (Kepala) Desa Pakraman Julah, Ketut Sidemen, sang kakek tepergok seorang warga sedang telanjang sambil memegang pantat sapi betina milik keponakannya. Akibat perbuatan tak senonoh tersebut, pada awal September 2009 Sutarya harus menanggung biaya upacara Pecaruan Balik Sumpah. Upacara ini dilakukan untuk membersihkan desa yang ternoda oleh perbuatan Sutarya. Termasuk juga untuk mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari. (surya)

Operasi Pelastik bagi Wanita

PEREMPUAN & IDEALISME CANTIK Dalam penelitian yang digagas Dove dengan lembaga penelitian Research International, ditemukan bahwa perempuan merasa dirinya ideal dengan tubuhnya dan merasa cantik, faktor pendorong utamanya lebih ditentukan oleh rasa humor, kebahagiaan, harga diri, kebijaksanaan dan inteligensia yang tinggi dibandingkan dengan dorongan aspek daya tarik (sex appeal) yang kuat dan alasan usia yang belia. Sementara, pada saat yang bersamaan, beberapa wanita, terutama wanita Indonesia, menjadikan faktor spritual dan keimanan sebagai atribut terpenting untuk merasa cantik. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa faktor batiniah jauh lebih penting dibandingkan faktor lahiriah bagi wanita Asia untuk percaya bahwa diri mereka cantik. Bicara soal kepuasan kecantikan yang dimilik, dari hasil penelitian itu wanita Filipina, 87% diantaranya, menyatakan bahwa mereka puas dengan kecantikan yang dimiliki. Sementara, wanita Indonesia, Jepang dan Korea memilih ‘sangat tidak puas’ dengan kecantikan yang mereka miliki. Apabila ditelaah lebih lanjut, khususnya wanita di Bandung, ternyata mempunyai tingkat kepuasan jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang berada di Medan dan Jakarta akan kecantikan yang dimiliki. Percaya atau tidak, dalam penelitian itu juga menemukan fakta menarik tentang perempuan Indonesia. Di Indonesia, hanya 1% wanita yang menganggap diri mereka cantik. Wow…kurang cantikkah perempuan Indonesia? Kurang percaya diri? Salah satu temuan penelitian tersebut mengungkapkan bahwa media memainkan peranan penting dalam membentuk persepsi wanita akan kecantikan. Hampir seluruh wanita Asia menyatakan bahwa media dan insan periklanan menciptakan standar tinggi yang tidak realistis akan kecantikan. Pada saat yang bersamaan, sejumlah wanita Asia – antara sepertiga hingga setengah di setiap negara – percaya wanita Barat lebih cantik. Hal ini mungkin disebabkan oleh dampak penayangan begitu banyak model dan selebriti di dunia yang berasal dari negara Barat. OPERASI PLASTIK SEBAGAI JALAN PINTAS Jika membandingkan negara mana yang para wanitanya mempertimbangkan operasi plastik (cosmetic surgery) untuk dapat mempercantik mereka, Indonesia berada diurutan yang paling bawah (4%) diikuti oleh Malaysia (4%), Cina (9%) dan Singapura (10%). Sementara, Jepang (39%), Taiwan (40%) dan Korea (53%) berada diurutan yang teratas. Tetapi, walaupun demikian, jumlah penjawab yang tertarik dengan operasi plastik meningkat drastis ketika biaya operasi ditawarkan secara gratis atau diganti oleh pihak asuransi kesehatan. Peningkatan paling drastis dapat dilihat dari Jepang (dari 39% menjadi 56%) dan Thailand (dari 37% menjadi 63%). Hal ini menunjukkan bahwa keberatan akan operasi tidak seluruhnya tergantung pada masalah moral atau menjaga identitas asli, tetapi lebih pada masalah biaya. REAL BEAUTY, ADAKAH? Apakah kecantikan sejati itu ada? Dalam tulisan di atas, terlihat jelas, ideologi –kalau bisa disebut begitu—tentang kecantikan ideal, memiliki peran kuat dalam membentuk gambaran real beauty yang distereotipkan. Khususnya tentang citra tubuh perempuan. Yang terjadi kemudian, stereotip itu membentuk citra public yang sangat kuat dan sulit untuk diubah dalam sekejab. Sekarang kecantikan ideal yang sudah terekontruksi itu menjadi standar nilai masyarakat dalam menilai kecantikan dan tubuh perempuan. Penelitian Dove di atas membuktikan, perempuan ternyata juga sangat dipengaruhi oleh media dalam memposisikan dan menerima peran cantik itu dalam masyarakat dan untuk diri perempuan sendiri. [joko.moernantyo] *artikel ini bisa dibaca di situs kampanye real beauty di www.forrealbeauty-id.com

Pertengkaran Orang Tua

Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika seorang klien yang sebelumnya telah mengadakan janji temu masuk ke ruang terapi saya. “Selamat malam Pak…., apa kabar, apa yang dapat saya bantu untuk Bapak” sapa saya mengawali pembicaraan. Dengan suasana santai dan nyaman, klien tersebut kemudian menceritakan permasalahan yang tengah dialami seputar usaha pribadi yang dimilikinya. “Saya bukan berasal dari keluarga kaya Pak” lanjutnya dalam pembicaraan kami. “Semuanya saya awali dari nol dengan modal usaha yang sangat minim”. “Hingga akhirnya saya dapat terus berkembang membangun usaha sendiri yang saat ini memiliki banyak cabang di Jogjakarta”. Dari cerita klien tersebut saya kemudian justru mendapatkan satu inspirasi yang sangat luar biasa. Berawal dari statusnya yang hanya sebagai pegawai biasa di sebuah counter handphone dengan gaji pas-pas an hingga akhirnya memiliki usaha sendiri dengan banyak cabang, ditambah beberapa mobil dan rumah mewah, dengan usia yang relatif masih muda, jauh dibawah saya. Wow menarik bukan? “Beberapa waktu ini usaha yang saya jalankan sedikit mengalami hambatan, Pak” ujarnya. “Saya merasa bahwa harusnya saya bisa lebih maju dan berkembang. Namun sekarang ini rasanya kok mandek ya, stuck nggak bergerak. Masa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada perkembangan sama sekali?”….. “Memang sih hasilnya masih cukup baik, namun dengan kapasitas modal dan karyawan yang ada, harusnya terjadi peningkatan juga dalam usaha saya ini. Kalau tidak nanti ke depannya akan semakin berat dalam persaingan” Pembicaraan terus berlanjut dan saya mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. Pada akhirnya saya menemukan suatu penjelasan yang cukup unik yang saya rasakan sebagai sumber penyebab dari tidak berkembangnya usaha yang dijalankan tersebut. Begini ceritanya, setelah menempati kantor baru sebagai pusat kegiatan usahanya tiga tahun lalu, banyak rekan dan sahabat yang datang berkunjung hampir setiap hari. Wajar saja bila pada akhirnya mereka sangat kagum dengan perkembangan dan hasil yang telah dicapai oleh klien saya ini. Mengingat bagaimana kondisinya sejak awal merintis usaha, mungkin tidak salah bila saya istilahkan “from zero to hero” he he he… Mau tak mau pujianpun mengalir dari masing-masing teman dan sahabatnya. “Wah anda memang hebat ya Pak”, “Sukses yang luar biasa Pak”, “Bisnis anda sangat besar sekali” adalah beberapa komentar dan pujian yang sering disampaikan padanya. Namun bagaimana cara klien saya menanggapinya ternyata justru menjadi bumerang di kemudian hari yang tidak pernah disadarinya. “Ah enggak kok” jawabnya. Atau “Biasa aja lah”, “Jangan terlalu memuji”, “Saya masih belum apa-apa”, “Ah saya nggak ada apa-apanya”, jawaban-jawaban inilah yang sering dan berkali-kali klien saya ucapkan menanggapi pujian-pujian tersebut. Dan itu terus berlanjut hingga saat sebelum bertemu saya. Yang menarik adalah mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali? Bukankah ini memperkuat atau bahkan bisa menyebabkan mental blok baru? Sebab dengan mengacu pada prinsip kerja pikiran, sesuatu yang dilakukan berulang kali (repetisi) secara konsisten, maka hal tersebut dapat menjadi suatu hal yang diyakini (belief). Dalam konteks bila keyakinan itu bersifat negatif, secara otomatis akan menjadi mental block yang menghambat kemajuan diri kita dan apa yang kita lakukan. Nah saya mulai menggali lebih dalam mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali. Saya menanyakan beberapa pertanyaan untuk mempertajam analisa dan dugaan saya tentang proses terbentuknya mental blok itu. Saya tanya lebih detail apa perasaannya saat mengucapkan kalimat tersebut sebab bila kita perhatikan jawaban-jawaban yang diberikan klien saya ini dalam menanggapi pujian yang ditujukan kepadanya, semuanya berkonotasi negatif bukan? Saya paham bahwa sebagai orang timur dan khususnya karena klien saya ini berasal dari Jogjakarta, mungkin maksud dari jawaban tersebut adalah untuk menunjukkan kerendahan hati dan menghindari kesan sombong atau tinggi hati. Namun intuisi saya sebagai terapis menangkap sesuatu yang sepertinya menjadi petunjuk penting untuk menyelesaikan kasus ini. Lagi pula suatu kalimat yang diulang berkali-kali dapat berubah menjadi belief dan mental blok yang benar-benar diwujudkan secara tidak sadar. Bahwa usahanya itu masih biasa saja, masih belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Disinilah terjadi proses sabotase diri yang tidak pernah disadari klien sama sekali. Singkat cerita saya kemudian melakukan terapi pada klien saya tersebut untuk menghilangkan belief dan mental blok yang menjadi penghambat kemajuan usahanya. Dengan salah satu tehnik terapi yang saya pelajari di kelas Akademi Hipnoterapi Indonesia, saya menemukan root cause atau akar permasalahan yang menyebabkan atau melatar belakangi ucapan-ucapan tersebut. Ternyata kejadian yang memicu semua ini dialami oleh klien saya pada saat dia berusia delapan tahun. Klien melihat pertengkaran kedua orangtuanya untuk yang kesekian kalinya. Namun yang kali ini dilihatnya adalah yang paling heboh dan seru hingga akhirnya kedua orangtuanya bercerai dan usaha mereka mengalami kebangkrutan. Kejadian ini begitu membekas, memunculkan perasaan tidak berdaya, tidak mampu, tidak percaya diri, tidak dapat berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi. Sebagai seorang anak ia tentu mengharapkan kedua orangtuanya rukun. Namun apa daya ia tak sanggup membuat itu terjadi. Dan …… bennnnngggggg! Sebuah perasaan tak mampu terbentuk melalui serangkaian self talk pada anak tak berdaya ini. Ditambah dengan emosi negatif yang dirasakan saat itu maka lengkaplah sudah proses terbentuknya citra diri pada si anak. Citra diri – saya tak mampu, saya biasa saja – ini tertanam kuat dalam memori pikiran dan berguna sebagai landasan berpikir dan bertindak saat anak kecil 8 tahun ini beranjak dewasa. Citra diri inilah yang kelak akan terwujud dalam kehidupan seseorang. Ini seperti sebuah ramalah yang menjadi kenyataan. Akhirnya saya membantu klien melihat kejadian itu dengan sudut pandang berbeda dan kemudian memaknai ulang peristiwa tersebut dengan kesadaran dewasanya. Lalu setelah itu saya minta klien membantuk gambaran mental baru yang ia inginkan dengan teknik tertentu juga yang terlalu teknik diceritakan di sini. Singkat cerita terapi berakhir dan klien merasa plong. Seakan sebuah batu besar yang selama ini digendong kemana-mana telah diletakkan dan tak perlu dibawa lagi. Dua bulan setelah sesi terapi berakhir, di awal Juni 2010 saya mendapatkan kabar bahwa usaha yang dijalankan oleh klien saya mulai ada peningkatan dan berjalan sesuai yang diharapkan. Pesanan tiba-tiba saja datang dari pihak-pihak yang tidak pernah berhubungan sama sekali. Bahkan kinerja karyawan pun membaik. Malah pada akhirnya klien saya ini menyampaikan bahwa dia sedang mengatur waktu dan meminta saya untuk memberikan training beserta sesi terapi untuk keseluruhan karyawannya. Kasus klien saya ini mengingatkan saya pada cerita Aladin dan lampu wasiat. Dimana Sang Jin akan mewujudkan dan mengabulkan permintaan yang disampaikan. “Your wish is my command”. Demikian juga dengan hukum yang ada di alam semesta ini. Bukankah apa yang kita pikirkan dan ucapkan adalah apa yang akan kita dapatkan dan diwujudkan dalam hidup kita? Oleh karenanya berhati-hatilah dengan apa yang Anda pikirkan dan ucapkan, karena semuanya dapat menjadi suatu keyakinan yang akan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Dan setelah menyadari dampak dari ucapan dan pikiran yang muncul maka carilah dengan kesadaran diri awal mula mengapa itu terjadi. Tak ada sebuah akibat terjadi tanpa sebab, betul? Bagaimana jika kesadaran diri kita tak sanggup menjangkau area dimana penyebab itu terjadi? Nah itulah saatnya kita membutuhkan pihak profesional untuk mencari dan melepaskan beban emosional tersebut.

Mengatasi Rasa Minder

Mengenali diri sendiri memang terasa amat sulit, tetapi hal itu bisa dilakukan. Hal ini dikarenakan di samping seseorang memiliki kelemahan di dalam dirinya pasti mempunyai kelebihan. Untuk itu kelebihan yang dimiliki hendaknya kita akui. Siapa lagi yang akan mengakui kelebihan kalau tidak kita sendiri. Bisa jadi persoalan yang selama ini menjadi penyebab belum pernah mendapatkan pujian, bukti dari pengakuan yang membuat semangat hidup memiliki gairah yang tinggi tanpa bermuara pada kesombongan. Mungkin saja, penyebabnya karena seseorang belum mendeklamasikan kelebihan dengan sebuah karya nyata. Untuk itulah setelah mengenali kelebihan, seseorang tak cukup mengenalnya namun terus diasah, dilatih, ditempa, hingga menjadi terampil dan menjadi ahli dalam bidang yang menjadi kelebihan tersebut. Bila mengatasi minder berhasil dilakukan, rasa minder ini akan merasa tidak betah berlama-lama bersemayam dalam jiwa seseorang. Mengontrol Lintasan-Lintasan Pikiran Mengatasi minder harus dilakukan sejak dini. Hal ini dilakukan karena membiarkan diri dikendalikan oleh lintasan-lintasan pikiran diri sendiri akan membuat kita terus larut dan selalu merasa rendah diri. Oleh karena itu, kita perlu mengatasi minder dengan cara mengendalikan lintasan-lintasan pikiran itu. Pada dasarnya diri sendirilah yang mengarahkan dan merasa mampu mengatasi hal-hal yang menyebabkan terjadinya minder. Jangan sampai lintasan pikiran terus dibiarkan sehingga menjadi tak terkontrol. Pengontrolan pikiran dapat dilakukan dengan berusaha menyeimbangkan pikiran. Memberikan gambaran informasi tentang kekurangan atau kelemahan. Memasukkan data informasi tentang kelebihan-kelebihan. Pergaulan pikiran ini haruslah selalu dimenangkan dengan banyak memikirkan akan kelebihan diri sendiri. Di samping didukung dengan kegiatan nyata yang lebih banyak berkarya dan mengaplikasikan kelebihan dalam karya nyata yang terus digeliatkan. Sebuah kesalahan fatal apabila seseorang menghabiskan waktu yang terus memikirkan tentang kekurangan diri. Jika seseorang telah berhasil mengatasi dengan cara melakukan olah pikiran antara kekurangan dan kelebihan, maka kemungkinan seseorang akan mampu mengatasi rasa minder atau rendah diri itu. Menghentikan Angan-Angan yang Berlebih-lebihan Berangan-angan memang bisa menyenangkan. Namun berangan-angan yang terus-menerus secara berlebih-lebihan akan menghasilkan tipuan yang menyakitkan. Sebab, dikala tersadar dari angan-angan kenyataan hidup yang jauh berbeda dengan angan-angan inilah yang menyakitkan. Usahakan jangan berangan-angan dengan memikirkan terlalu jauh rencana yang akan diraih. Berangan-angan sama halnya seperti melamun dengan berbagai andai-andai. Di antaranya “Seandainya saya tidak memiliki kekurangan atau kelemahan A tentu saya akan bisa berbuat B. Seandainya saya tidak memiliki kekurangan A ini saya tentu bisa meraih C, D, E, F bahkan sampai Z pun akan kembali kepada B lagi dengan versi muatan angan-angan yang lebih dalam lagi.” Jika kita tidak segera terjaga karena adanya seputar kelemahan yang ada pada diri menjadi hilang dan digantikan dengan kelebihan sesuai dengan angan-angan. Oleh karena itu, segera mengkondisikan diri sebagai orang yang tidak gemar menyendiri setiap saat. Bergabunglah dengan orang lain dengan membicarakan sesuatu yang tidak membuat lamunan menjadi tinggi. Dengan bergaul dan mengobrol hal-hal yang tidak menjadi lamunan sedikit banyak akan menghilangkan halayan-hayalan yang tidak bermakna. Disunting dari pendapat: Junaedi, Uken. 2006. Kiat Menghilangkan Sifat Buruk. Bandung: Dayyan Publishing.

Anak Korban Kekerasan Orang Tua

Direktur Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Ahmad Sofian, SH, MA mengatakan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia yang kian tahun semakin "akut" merupakan salah satu bentuk kekerasan struktural terhadap anak. "Negara kita sama sekali tidak mempunyai paradigma pendidikan terhadap anak di dalam kehidupan berkeluarga, sehingga para orang tua berpersepsi, dapat memperlakukan anak-anak mereka sesuka hati," kata Sofian menjawab wartawan kemarin di Medan sehubungan dengan kasus penggorokan tiga anak oleh ibu kandung dan sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang berakibat kematian yang terjadi sepanjang 2009. Menurut Sofian, ketiadaan pola pendidikan terhadap masyarakat oleh negara secara langsung akan berdampak pada tingginya angka kekerasan terhadap anak. Ditambah pula secara kultural, sistem kehidupan bermasyarakat di Indonesia masih banyak diwarnai oleh budaya kekerasan, mulai dari sistem pendidikan di sekolah sampai dunia hiburan. Padahal, sejatinya, negara harus bertanggung jawab terhadap upaya membangun keluarga yang damai keluarga yang taat hukum, dan itu harus dimulai dari lingkungan terkecil, yakni sebuah keluarga sebagai miniatur sebuah negara," jelasnya. Lebih parah lagi, selama ini negara sama sekali tidak menunjukkan adanya perhatian yang serius dalam mencegah, merehabilitasi hingga menanggulangi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak yang justru dilakukan oleh orang tuanya sendiri. "Ini dapat diartikulasikan sebagai sebuah bentuk pembiaran negara terhadap warganya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan," ujarnya. Oleh karenanya, Sofian meminta kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperhatikan masalah ini, karena hal ini menyangkut masa depan generasa bangsa yang diharapkan sebagai generasi yang cinta perdamaian. "Negara kita suatu saat akan kacau oleh anak-anak yang dididik oleh orang tuanya dengan kekerasan," katanya. Untuk itu, lanjutnya, belajar dari kasus demi kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama ini, pemerintah diminta harus merumuskan pola pendidikan bagi warga negara dalam mendidik anak, termasuk batas-batas hukuman terhadap anak, serta sanksi yang tegas bagi orang tua yang terbukti sebagai pelaku kekerasan. "Anak Indonesia ya harus dilindungi negara, termasuk dari perlakuan yang salah dari orang tuanya sendiri. Mustahil kita bisa mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan anak, keluarga sejahtera atau apalah namanya, jika pemerintah tidak belajar dari kasus demi kasus yang terjadi," tukasnya. Orang Tua Sebagai Pelaku Data kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara yang dikumpulkan PKPA sepanjang 2007 sampai tahun 2009 menunjukkan adanya indikasi memburuknya pola pengasuhan dan pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya. Hal tersebut terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua kandung sendiri. Ini berbanding terbalik dengan pelaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Pada tahun 2007 misalnya, dari 260 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun, orang tua kandung (ayah/ ibu kandung) sebagai pelaku tercatat sebanyak 14 kasus (10,21% ) sedangkan orang yang tidak dikenal (OTK) sebagai pelakunya terdata sebanyak 49 orang (20, 85 %). Pada tahun 2008, jumlah ini mengalami fluktuasi, walaupun orang tua kandung (ayah/ ibu kandung) sebagai pelaku meningkat menjadi 33 kasus (9 % ) dari 360 kasus yang terdata, namun OTK sebagai pelakunya juga semakin meningkat menjadi sebanyak 69 kasus (20 %). Kemudian pada tahun 2009, dari 172 kasus yang terdata, angka kasus kekerasan terhadap anak semakin menunjukkan indikasi semakin buruknya pola pengasuhan dan pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya, yakni pelaku kekerasan terhadap anak dengan orang tua sebagai pelakunya meningkat menurun dari segi jumlah namun meningkat dari segi prosentasi yakni menjadi 21 kasus (13 %), sedangkan pelaku dari OTK menurun drastis menjadi 26 kasus (15 %). PKPA memprediksi bila hal ini tidak ada tindakan nyata dari pemerintah dalam memberlakukan pola pengasuhan dan pendidikan orang tua tanpa kekerasan terhadap anak diperkirakan persentasi orang tua terhadap anak pada tahun 2010 akan meningkat menjadi 15-20 %, dan OTK sebagai pelaku diperkirakan akan terus menurun hingga 10-14% mengingat semakin menguatnya tingkat kewaspadaan masyarakat dan media massa terhadap para pelaku kekerasan terhadap anak di tataran publik. Sepanjang 2009, dari 172 kasus terhadap anak yang terdata di Sumatera Utara, PKPA hanya sanggup menangani 42 kasus (24 kasus oleh PKPA Medan melalui Unit PUSPA dan 18 kasus oleh PKPA Nias. sumber: http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28337%3Aanak-korban-kekerasan-struktural&Itemid=65

Dampak Perceraian Terhadap Anak

Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. sehingga keadaan rumah menjadi berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak anak mereka, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Biasanya dilihat saja perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga anak juga akan bingung untuk memihak ayah atau ibunya. Setelah perceraian hal akan membawa pengaruh langsung bagi anak–anak mereka terlihat pula dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak yang menginjak remaja, terlebih lagi pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya bercerai. Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe, 2005). Anggapan mengenai perceraian sama dengan suatu kegagalan yang biasa karena semata–mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis, padahal pada semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing–masing memiliki keinginan, kebutuhan serta latar belakang sosial yang berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini biasanya memunculkan ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna, 1999) Perceraian dan perpisahan orangtua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Banyak studi dilakukan untuk memahami akibat-akibat perceraian bagi anggota keluarga khususnya seorang anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992) Dalam kasus perceraian, tidak hanya orang tua yang menanggung kepedihan, tapi yang lebih merasakan beratnya perceraian adalah anak. Severe (2000) mengemukakan bahwa anak bukannya tidak tahu tapi ia tidak mampu menjelaskan, mengapa ia tidak ingin ada orang tahu bahwa ia sedang pedih hatinya, dia juga tidak ingin mengatakan apapun yang dapat memperburuk keadaan di rumah. Sebenarnya anak dapat melihat ketegangan yang dialami orang tuanya. Tetapi dia khawatir jika dia mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang. Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya nanti. Secara psikologis, anak terikat pada kedua orang tuanya, jika orang tuanya bercerai, seperti separuh kepribadiannya dirobek, hal ini akan berpengaruh terhadap rasa harga diri yang buruk, timbul rasa tidak aman dan kemurungan yang luar biasa dan dalam kondisi demikian maka sekolah bagi anak bukan merupakan sesuatu yang penting. Menurut Handoko (2002) perceraian bagi anak adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, rasanya separuh "diri" anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina. Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Mereka akan berpikir, "Kalau ayah orang jahat, jangan-jangan nanti aku juga jadi orang jahat. Kata orang aku sangat mirip ayah. "Perasaan penolakan dan kehilangan akan sangat membekas, dia berkeyakinan, dirinya seorang anak yang tidak punya nilai, hilangnya hubungan dengan salah satu orang tua berarti ia tidak pantas mendapatkan waktu dan kasih sayang. Tiadanya harga diri itu akan mengganggu kehidupannya. Ia takut menjalin persahabatan. Ia takut berusaha keras di sekolah, bahkan ia juga takut untuk terlalu dekat dengan ibunya karena kalau ayahnya saja tidak peduli, orang lain pasti akan begitu. Ada ketakutan juga jangan-jangan orang tua yang sekarang bersamanya juga akan meninggalkannya. Amarah dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya. Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih aman. Bisa dilihat kembali pada awal tahun 1960an dan tahun 1970an rata–rata tingkat perceraian semakin tinggi secara dramastis dengan adanya kasus yang menemukan bahwa anak–anak hasil perceraian mengalami trauma, memperlihatkan gejala–gejala depresi ringan dan anti sosial. Dampak ini terlihat hampir seluruh kehidupan anak ketika orang tua mereka baru saja bercerai. Hal ini juga berdampak pada masa muda mereka dimana remaja yang menjadi korban perceraian dari orang tua mereka memiliki angka perceraian yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga yang tidak bercerai. Dalam penelitian terakhir hubungan anak remaja yang orang tuanya bercerai adalah remaja yang menjadi korban perceraian akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya. Penelitian tersebut menandai anak-anak hasil perceraian selalu memusatkan opininya tentang pernikahan pada sesuatu yang lain (Franklin, dkk, 1990) Remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya akan kurang menpercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh. Mereka menganggap hubungan mereka berpacaran terlalu beresiko (Johnston dan Thomas, 1996) Remaja pada pernikahan pertamanya akan mengalami ketidakstabilan karena peneliti menemukan bahwa diantara mereka tidak begitu bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Mereka yang berasal dari keluarga tidak utuh memiliki tingkat perceraian yang tinggi dan merasa kalau pernikahannya dalam masalah (Weber, dkk, 1995) Berdasarkan hasil survey nasional AS sebanyak 11 macam dari tahun 1973 hingga 1985 diperoleh bermacam-macam argumen tentang dampak perceraian yaitu dalam hal ini bentuk peran pasangan seperti pernikahan yang buruk akan menghasilkan tipe anak yang buruk juga. Kurang mempunyai kontrol sosial seperti kurangnya dukungan keluarga terhadap pernikahan hilangnya bentuk peran pasangan, pendidikan yang rendah, keinginan besar untuk bercerai, mereka lebih suka memilih bercerai untuk mengakhiri konflik, menikah pada usia muda biasanya menikah pada usia muda cenderung akan lebih cepat bercerai (Glenn and Kramer, 1987)

tahap-tahap perkembangan konflik

Pada tahap Storming, terdapat pula tahap-tahap perkembangan konflik, yaitu: 1. Disagreement pertengkaran dan friksi diantara anggota kelompok yang melibatkan kata-kata, emosi dan tindakan. perlu segera diindentifikasi disagreementnya: * apakah benar-benar ada atau sekedar kesalahpahaman * apakah perlu segera ditangani atau terselesaikan sendiri * jika benar-benar ada dan menyangkut beberapa faktor situasional minor 2. Confrontation (Konfrontasi) * dua orang atau lebih saling bertentangan → verbal attack. * diakhir tahap ini, tingkat koalisi (sub kelompok dalam kelompok) dimana anggota kelompok menjadi terpolarisasi (membentuk blok-blok) 3. Escalation (Eskalasi) pada tahap ini, anggota kelompok menjadi semakin kasar, suka memaksa, mengancam, sampai pada kekerasan fisik → timbul mosi tidak percaya (distrust), frustasi dan negatif reciprocity. 4. Deescalation (Deeskalasi) * berkurang atau menurunnya konflik * anggota mulai sadar waktu dan energi yang terbuang sia-sia dengan berdebat Mekanisme pengolahan konflik: a. Negosiasi : secara interpersonal sengan asumsi bahwa tiap orang akan mendapatkan keuntungan dengan adanya situasi - distributive issues : negosiasi berhasil, satu pihak puas, pihak yang lain mengikuti karena pihak yang lain itu memiliki power - integrative issues : negosiasi berhasil, kedua pihak merasa puas (win win solution) b. Membangun kepercayaan : dengan mengkomunikasikan keinginan individu secara hati-hati dan harus konsisten antara apa yang diomongkan dengan perilaku aktualnya

Penyebab Konflik

Individu-individu dalam organisasi mempunyai banyak tekanan pengoperasian organisasional yang menyebabkan konflik. Secara lebih konsepsual Litterer mengemukakan empat penyebab konflik organisasional, yaitu: 1. Suatu situasi dimana tujuan-tujuan tidak sesuai. 2. Keberadaan peralatan-peralatan yang tidak cocok atau alokasi-alokasi sumber daya yang tidak sesuai. 3. Ketidak tepatan status suatu masalah. 4. Perbedaan persepsi. Di dalam organisasi terdapat empat bidang struktural, dan di bidang itulah konflik sering terjadi, yaitu: * Konflik hirarkis, adalah konflik antara berbagai tingkatan organisasi. * Konflik fugsional, adalah konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi. * Konflik lini-staf, adalah konflik antara lini dan staf. * Konflik formal-informal, adalah konflik antara organisasi formal dengan organisasi informal.1 Sumber: 1 Pengantar Organisasi & Metode, Widyatmini, cetakan V Penerbit Gunadarma.

STORMING : KONFLIK DALAM KELOMPOK

STORMING : KONFLIK DALAM KELOMPOK >Munculnya disagreement, pertengkaran dan friksi diantara anggota kelompok yang melibatkan kata-kata, emosi dan tindakan. Tahap-tahap perkembangan konflik: 1. Disagreement >perlu segera diindentifikasi disagreementnya: • apakah benar-benar ada atau sekedar kesalahpahaman • apakah perlu segera ditangani atau terselesaikan sendiri • jika benar-benar ada dan menyangkut beberapa faktor situasional minor 2. Confrontation >dua orang atau lebih saling bertentangan -> verbal attack. >diakhir tahap ini, tingkat koalisi (sub kelompok dalam kelompok) dimana anggota kelompok menjadi terpolarisasi (membentuk blok-blok). 3. Escalation >pada tahap ini, anggota kelompok menjadi semakin kasar, suka memaksa, mengancam, sampai pada kekerasan fisik -> timbul mosi tidak percaya (distrust), frustasi dan negatif reciprocity. 4. Deescalation >berkurang atau menurunnya konflik >anggota mulai sadar waktu dan energi yang terbuang sia-sia dengan berdebat Mekanisme pengolahan konflik: a. Negosiasi : secara interpersonal sengan asumsi bahwa tiap orang akan mendapatkan keuntungan dengan adanya situasi - distributive issues : negosiasi berhasil, satu pihak puas, pihak yang lain mengikuti karena pihak yang lain itu memiliki power - integrative issues : negosiasi berhasil, kedua pihak merasa puas (win win solution) b. Membangun kepercayaan : dengan mengkomunikasikan keinginan individu secara hati-hati dan harus konsisten antara apa yang diomongkan dengan perilaku aktualnya 5. Conflict Resolution >tiap konflik sampai pada tahap ini, meskipun tidak semua pihak puas akan hasilnya Penyebab konflik : 1. Interdepence >tidak semua interdependence menyebabkan konflik, jika: a. ada kerjasama antar anggota dalam interdepence shg konflik ↓ b. ada kompetisi antar anggota dalam interdepence shg konflik ↑ Deutch (1949): >pure cooperation -> promotive interdependence : dengan menolong >pure competition -> contrient interdependence : anggota bisa meraih tujuannya hanya jika anggota lain gagal memilihnya 2. Influence stategies >strategi-strategi untuk mempengaruhi orang lain, ancaman, hukuman dan negatif reinforcement -> meningkatkan konflik 3. Misunderstanding dan misperception Sumber : Handout Psikologi Kelompok, (Oleh : Klara Innata Arishanti, S.Psi)

FORMING : Menjadi Sebuah Kelompok

FORMING : Menjadi Sebuah Kelompok A. Pandangan Psikoanalisis Freud : orang bergabung dalam kelompok karena keanggotaan dapat memuaskan kebutuhan dasar biologis dan psikologis tertentu Ada 2 proses pembentukan kelompok, yaitu: 1. Identifikasi >energi emosi individu (libido) diarahkan ke dirinya dan orang lain. Individu menjadikan orang lain (orang tua) sebagai model egonya ->EGO IDEAL. Penerimaan orang tua sebagai objek kasih sayang anak akan membentuk ikatan yang kuat -> kepuasan melalui sense of belonging, kesalingtergantungan, perlindungan terhadap ancaman luar dan meningkatkan self development. 2. Transferen >bagaimana pembentukan kelompok pada masa awal kehidupan individu mempengaruhi perilaku kelompok selanjutnya. Individu melihat pemimpin kelompok sebagai figur otoritas sebagaimana individu menganggap orang tuanya. B. Pandangan Sosiobiologi >Menurut pandangan ini, orang bergabung dengan kelompok untuk memuaskan keinginan yang kuat untuk berafiliasi secara biologis. >Didasarkan teori evolusi dari Charles Darwin : bergabung dengan anggota lain dari satu spesies merupakan ekspresi strategi yang stabil secara evolusioner dan kultural dari individu yang dapat meningkatkan rerata kesuksesan reproduksi. C. Pandangan Proses Pembandingan Sosial >Leon Festinger (1950, 1954) : orang membutuhkan orang lain karena mereka membutuhkan informasi tentang diri mereka dan lingkungan mereka dan kebutuhan akan informasi. Ini hanya dapat dipenuhi dari orang lain. Individu membandingkan diri mereka dengan orang lain tentang keyakinan, opini dan sikap mereka -> apakah benar, valid, sesuai. D. Pandangan Pertukaran Sosial >Model ketertarikan kelompok, dengan mempertimbangkan : 1. reward 2. cost ->minimax principle (berusaha untuk mendapatkan reward yang sebesar-besarnya dan mengurangi cost yang sekecil-kecilnya). Sumber : Handout Psikologi Kelompok, (Oleh : Klara Innata Arishanti, S.Psi)

Tahapan Pembentukan Kelompok

Tahapan Pembentukan Kelompok Perkembangan sebuah kelompok selalu berbeda satu dengan yang lainnya. Namun demikian, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk membentuk sebuah kelompok. Berikut ini adalah beberapa tahapan dalam pembentukan kelompok : >Forming Forming adalah tahap orang berkumpul dan membentuk sebuah kelompok. Pada suatu kegiatan, tidak sedikit peserta yang mengikutinya karena penugasan. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan perasaan was-was maupun keraguan di hati peserta tersebut. Beberapa pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Apakah saya dapat mengikuti kegiatan ini dengan baik?” atau “Apakah saya dapat berbaur dengan peserta yang lain?”. Seorang fasilitator diharapkan dapat memastikan bahwa setiap peserta yang terlibat dalam kegiatan tersebut merasa nyaman dengan lingkungan barunya tersebut. Berikan perhatian secara khusus kepada peserta. Berikan waktu kepada para peserta untuk saling mengenal satu sama lain. Pada kesempatan ini, fasilitator dapat pula menggunakan permainan yang memecah kekakuan (ice breaker). >Informing Informing merupakan tahap dimana kelompok yang baru terbentuk tersebut diberi penjelasan tentang tujuan dari kegiatan yang akan diselenggarakan. Pada tahap ini biasanya akan didapati interaksi antaranggota karena setiap peserta mulai sadar bahwa mereka menuju pada tujuan yang sama. Seorang fasilitator biasanya akan mencari titik pijak yang sama, dan membentuk visi, misi, serta tujuan kelompok. Fasilitator diharapkan dapat menggunakan kegiatan pengenalan dan agenda yang jelas. >Storming Pada tahap ini, pembangunan peran diantara masing-masing peserta mulai terbentuk. Storming merupakan fase yang sangat penting dalam dinamika kelompok, karena pada tahap ini akan terjadi tarik menarik, uji coba, bahkan konflik. Benturan antarpribadi sangat mungkin terjadi pada tahap ini – bahkan benturan antara peserta dengan pemimpin kelompok. Seorang fasilitator diharapkan dapat memberikan dukungan kepada seluruh kelompok. Dengan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik fasilitasi, fasilitator juga perlu senantiasa mengingatkan peserta akan tujuan dan norma-norma kelompok. Usahakan agar fasilitator dapat menjaga terjadinya keterbukaan dan mendorong setiap peserta untuk mengatasi konflik yang terjadi. >Norming Tahapan ini merupakan tahap stabilisasi dimana aturan, ritual, dan prosedur telah ditetapkan dan diterima oleh seluruh peserta. Peserta telah menyepakati identitas perasn sehingga terciptanya suasana kebersamaan. Jalan menuju kemajuan disepakati dan disetujui bersama. Fasilitator diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menghaluskan proses. Jika diperlukan, perbaiki atau sesuaikan norma yang ada, untuk kemudian diserahkan kembali implementasinya kepada kelompok. >Mourning Mourning merupakan tahap akhir dari proses pembentukan sebuah kelompok. Pada tahapan ini, seluruh tugas telah selesai dikerjaan dan tujuan utama pembentukan kelompok sudah terpenuhi. Siklus kehidupan kelompok secara resmi telah berakhir. Terkadang muncul rasa sedih diantara peserta. Sebagian mulai memikirkan tugas lain yang telah menanti. Fasilitator yang baik diharapkan dapat membantu peserta dalam mempersiapkan masa transisi dari pembentukan kelompok menuju bubarnya kelompok. Pastikan bahwa ada semacam ‘ritual’ perpisahan, baik secara individu maupun secara kelompok. >Transforming Pada tahapan ini, tim telah menjadi dinamis karena pembentukan kelompok sudah terjadi dan mulai ada perubahan baik di masing-masing peserta maupun pada kelompok secara keseluruhan. Sebagai seorang fasilitator, diharapkan dapat menunjukkan dukungan dan rasa percaya kepada kelompok. Hargai perubahan yang terjadi dengan memberikan pujian. Yang perlu diingat adalah sebaiknya pujian yang diberikan tidak berlebihan. Sumber :http://www.itpipopular.org/index.php?option=com_content&view=article&id=11:mengelola-dinamika-kelompok&catid=12:dapur-pengorganisasian&Itemid=16

Individu Dalam Massa

Individu Dalam Massa • Kehilangan kepribadian yang sadar dan rasional, tindakan kasar dan irasional, menurut secar membabi buta pada pemimpin • Melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebiasaan → agresi Teori frustasi-agresi dari Fuller-Miller, mengemukakan: • Agresivitas merupakan cerminan dari frustasi yang dirasakan oleh massa • Kuat lemahnya tergantung besar kecilnya hambatan dalam mencapai tujuan tersebut Menurut Sidis, individu dalam massa akan terkena hipnotis bentuk ringan sehingga pertimbangan kritis hilang Kondisi Psikologis Individu Dalam Massa Menurut Gustave Le Bon, massa itu mempunyai sifat-sifat psikologis tersendiri. Orang yang tergabung dalam suatu massa akan berbuat sesuatu, yang perbuatan tersebut tidak akan diperbuat bila individu itu tidak tergabung dalam suatu massa. Sehingga massa itu seakan-akan mempunyai daya melarutkan individu dalam suatu massa, melarutkan individu dalam jiwa massa. Seperti yang dikemukakan oleh Durkheim bahwa adnaya individual mind dan collective mind, yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Gustave Le Bon dalam massa itu terdapat apa yang dinamakan hukum mental unity atau law mental unity, yaitu bahwa massa adalah kesatuan mind, kesatuan jiwa. Menurut Allport, sekalipun kurang dapat menyetujui tentang collective mind tetapi dapat memahami tentang pemikiran adanya kesamaan (conformity), tidak hanya dalam hal berpikir dan kepercayaan, tetapi juga dalam hal perasaan (feeling) dan dalam perbuatan yang tampak (overt behaviour).