Rabu, 03 November 2010

Dampak Perceraian Terhadap Anak

Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. sehingga keadaan rumah menjadi berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak anak mereka, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Biasanya dilihat saja perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga anak juga akan bingung untuk memihak ayah atau ibunya. Setelah perceraian hal akan membawa pengaruh langsung bagi anak–anak mereka terlihat pula dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak yang menginjak remaja, terlebih lagi pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya bercerai. Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe, 2005). Anggapan mengenai perceraian sama dengan suatu kegagalan yang biasa karena semata–mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis, padahal pada semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing–masing memiliki keinginan, kebutuhan serta latar belakang sosial yang berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini biasanya memunculkan ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna, 1999) Perceraian dan perpisahan orangtua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Banyak studi dilakukan untuk memahami akibat-akibat perceraian bagi anggota keluarga khususnya seorang anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992) Dalam kasus perceraian, tidak hanya orang tua yang menanggung kepedihan, tapi yang lebih merasakan beratnya perceraian adalah anak. Severe (2000) mengemukakan bahwa anak bukannya tidak tahu tapi ia tidak mampu menjelaskan, mengapa ia tidak ingin ada orang tahu bahwa ia sedang pedih hatinya, dia juga tidak ingin mengatakan apapun yang dapat memperburuk keadaan di rumah. Sebenarnya anak dapat melihat ketegangan yang dialami orang tuanya. Tetapi dia khawatir jika dia mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang. Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya nanti. Secara psikologis, anak terikat pada kedua orang tuanya, jika orang tuanya bercerai, seperti separuh kepribadiannya dirobek, hal ini akan berpengaruh terhadap rasa harga diri yang buruk, timbul rasa tidak aman dan kemurungan yang luar biasa dan dalam kondisi demikian maka sekolah bagi anak bukan merupakan sesuatu yang penting. Menurut Handoko (2002) perceraian bagi anak adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, rasanya separuh "diri" anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina. Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Mereka akan berpikir, "Kalau ayah orang jahat, jangan-jangan nanti aku juga jadi orang jahat. Kata orang aku sangat mirip ayah. "Perasaan penolakan dan kehilangan akan sangat membekas, dia berkeyakinan, dirinya seorang anak yang tidak punya nilai, hilangnya hubungan dengan salah satu orang tua berarti ia tidak pantas mendapatkan waktu dan kasih sayang. Tiadanya harga diri itu akan mengganggu kehidupannya. Ia takut menjalin persahabatan. Ia takut berusaha keras di sekolah, bahkan ia juga takut untuk terlalu dekat dengan ibunya karena kalau ayahnya saja tidak peduli, orang lain pasti akan begitu. Ada ketakutan juga jangan-jangan orang tua yang sekarang bersamanya juga akan meninggalkannya. Amarah dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya. Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih aman. Bisa dilihat kembali pada awal tahun 1960an dan tahun 1970an rata–rata tingkat perceraian semakin tinggi secara dramastis dengan adanya kasus yang menemukan bahwa anak–anak hasil perceraian mengalami trauma, memperlihatkan gejala–gejala depresi ringan dan anti sosial. Dampak ini terlihat hampir seluruh kehidupan anak ketika orang tua mereka baru saja bercerai. Hal ini juga berdampak pada masa muda mereka dimana remaja yang menjadi korban perceraian dari orang tua mereka memiliki angka perceraian yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga yang tidak bercerai. Dalam penelitian terakhir hubungan anak remaja yang orang tuanya bercerai adalah remaja yang menjadi korban perceraian akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya. Penelitian tersebut menandai anak-anak hasil perceraian selalu memusatkan opininya tentang pernikahan pada sesuatu yang lain (Franklin, dkk, 1990) Remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya akan kurang menpercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh. Mereka menganggap hubungan mereka berpacaran terlalu beresiko (Johnston dan Thomas, 1996) Remaja pada pernikahan pertamanya akan mengalami ketidakstabilan karena peneliti menemukan bahwa diantara mereka tidak begitu bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Mereka yang berasal dari keluarga tidak utuh memiliki tingkat perceraian yang tinggi dan merasa kalau pernikahannya dalam masalah (Weber, dkk, 1995) Berdasarkan hasil survey nasional AS sebanyak 11 macam dari tahun 1973 hingga 1985 diperoleh bermacam-macam argumen tentang dampak perceraian yaitu dalam hal ini bentuk peran pasangan seperti pernikahan yang buruk akan menghasilkan tipe anak yang buruk juga. Kurang mempunyai kontrol sosial seperti kurangnya dukungan keluarga terhadap pernikahan hilangnya bentuk peran pasangan, pendidikan yang rendah, keinginan besar untuk bercerai, mereka lebih suka memilih bercerai untuk mengakhiri konflik, menikah pada usia muda biasanya menikah pada usia muda cenderung akan lebih cepat bercerai (Glenn and Kramer, 1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar