Kamis, 18 Maret 2010
Kelebihan Anak Autis
Kini Adihutama Wirasatya, 9 tahun, sudah mahir memainkan gamelan. Bahkan ia sudah bisa mencari nada sendiri dari alat musik tradisional itu. Kemudian murid kelas III Sekolah Dasar Negeri I, Ngemplak, Klaten, ini memiliki pemahaman konsep abstrak yang tidak kalah dengan teman sebayanya. Padahal tidak banyak yang bisa dikerjakan Wira--panggilannya--saat usianya beranjak lima tahun. Kala itu bocah laki-laki ini cuma bisa mengamuk dan menangis. Dia tidak bisa duduk tenang, berbicara, bahkan kesulitan untuk buang air besar.
"Yang jelas, saraf motorik kasar dan halusnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya," ujar sang bunda, Lucy Catherine Isabella, 38 tahun, kepada Tempo saat dihubungi melalui telepon selulernya kemarin. Menurut Lucy, pada usia 18 bulan, Wira divonis dokter telah mengidap gangguan spektrum autistik.
Nah, pasca-vonis itu, Lucy mencoba beragam pilihan pengobatan demi anaknya. Awalnya, dokter menawari operasi anus buatan di perut Wira sebagai solusi kesulitan buang air besarnya. Padahal semua organ pencernaannya normal dan asupan seratnya pun tinggi. Karena itu, Lucy memutuskan tidak menuruti tindakan medis tersebut. Selain dokter, alumnus Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada 1996 ini mencoba terapi psikiater untuk membantu kemampuan bicara dan pengendalian emosi Wira. Tapi hasilnya, si kecil tidak mengalami kemajuan berarti.
Hingga suatu kali, saat Wira berusia 5,5 tahun, Lucy tertarik mendatangi Arogya Mitra Akupuntur, yang terletak di Dukuh Ngemplak, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. "Ternyata hasilnya luar biasa," Lucy mengungkapkan. Baru dua bulan terapi tusuk jarum oleh Eko Tunggono, anaknya sudah mengeluarkan suara. Kemajuan pun terus diraihnya. Memasuki bulan keenam, Wira bisa bicara layaknya anak normal. "Buang air besarnya juga sudah bisa secara alami," mantan wartawati media harian di Ibu Kota ini memaparkan.
Seiring terapi, Lucy menjelaskan, dia selalu menumbuhkan persepsi positif terhadap anaknya. Ia pun selalu mengembangkan diri agar bisa memahami anaknya dengan baik. Yang terpenting, ia yakin kepada segala kemungkinan terbaik dan tidak pernah menyerah. Walhasil, kini Wira tumbuh menjadi anak sehat secara fisik maupun mental. Dan sebagai apresiasinya terhadap Eko Tunggono, Lucy menulis buku berjudul Dari Pulau Buru Menjadi Penyelamat Anak-anak Autis Hiperaktif pada Maret lalu. Apalagi di Klinik Arogya Mitra, Eko berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan anak autis dan hiperaktif.
Sebetulnya, tidak cuma Lucy yang menghadapi problematika seperti ini. Masih banyak orang tua lain yang mencari solusi demi penyembuhan anak mereka sebagai pengidap autistik. Satu di antaranya adalah presenter televisi, Muhammad Farhan, 39 tahun. Anak pertamanya, Muhammad Ridzky Khalid, 10 tahun, divonis dokter mengidap autistik pada usia 18 bulan.
Sejak itu, bagi Farhan, yang terpenting adalah memberi pendidikan mengenai aturan dasar bagi Ridzky. "Paling tidak dia tahu norma dan sopan santun yang sudah berlaku umum," katanya saat ditemui seusai acara peduli autisme sedunia di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu, misalnya, seperti cara membersihkan diri setelah dari kamar mandi, memakai pakaian, dan cara makan yang benar. "Kan tidak mungkin saat usianya 20 tahun, (dia masih) dicebokin bapaknya."
Kemudian suami Nani Rubiyani ini selalu menumbuhkan sifat percaya diri kepada anaknya. Caranya dengan membawa Ridzky ke tempat-tempat umum, seperti pusat perbelanjaan. "Ada beberapa orang tua malu membawa anaknya ke luar rumah. Bahkan sampai ada yang disembunyikan," katanya. Hal itu semakin membuat si anak terasing dari lingkungannya. Selain itu, dia tidak membebani target bagi si kecil harus bisa apa dalam beberapa bulan setelah sekolah. Ridzky sendiri adalah siswa sekolah inklusi di Sekolah Global Mandiri, Jakarta.
Saat ini, Ridzky ahli dalam pengetahuan tentang klasifikasi hewan dan tumbuhan. Tidak itu saja, dia juga hafal letak kota setiap negara yang terpampang di peta dunia. "Sebab itu, kalau ke Singapura atau Bali, kami selalu menyempatkan pergi ke kebun binatangnya," ujar pria kelahiran Bogor ini. Yang jelas, kata Farhan, jika diarahkan ke jalur yang benar, anak autis berpotensi memiliki keahlian yang melebihi orang normal.
Hal itu sudah ada contohnya. Lihat saja kiprah seorang anak autis, Oscar Yura Dompas, 29 tahun, yang mampu menyabet gelar sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Oscar berhasil mempertahankan scientific writing berjudul Plot Analyzes of Erich Maria Remarque's All Quiet On The Western Front. Selain itu, pemuda berkepala plontos ini telah menelurkan buku berjudul Autistic Journey pada 2004.
"Ke depan, saya lagi nulis naskah film mengenai anak autis sedang jatuh cinta," katanya saat ditemui Tempo di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menurut sang ayah, Jeffrey Dompas, 52 tahun, sedari kecil Oscar tidak pernah mendapatkan terapi apa pun. Dia meyakini bahwa yang dibutuhkannya hanya naluri dasar orang tua untuk memahami dirinya. "Jadi, bagaimana memperlakukan dia layaknya anak normal saja," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Profesor Komaruddin Hidayat pun menyebutkan, anak autis bisa berkembang lebih optimal lewat pendidikan. "Pendidikan dapat membangkitkan rasa percaya diri anak autis," katanya pada kesempatan yang sama. Untuk itu, ia menekankan, peranan keluarga sangat dibutuhkan bagi kemajuan kognitif si anak. "Keluarga adalah solusi bagi anak autis," ia menegaskan.
Autis merupakan kumpulan gejala gangguan perilaku yang bervariasi pada setiap anak. Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa, dan pengulangan tingkah laku.
Beberapa anak bahkan mengulang atau meniru perkataan yang diucapkan orang lain kepada mereka. Anak-anak penyandang autis juga mengalami kesulitan untuk melibatkan diri dalam permainan yang mengembangkan imajinasi. Gangguan perkembangan yang dialami anak autis tersebut dapat berubah sejalan dengan waktu.
Perilaku autis mulai dikenali pada saat anak berusia kurang dari 30 bulan, tetapi saat ini melalui bukti-bukti yang kuat, diagnoasa autisme dapat dilihat saat anak berusia sekitar 18-36 bulan. Menurut Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman, ketua program studi pendidikan anak usia dini, Universitas Negeri Jakarta, Posyandu (pos pelayanan terpadu), seharusnya menjadi ujung tombak untuk mendeteksi apakah seorang anak memiliki ciri autisme.
"Selain dokter, di Posyandu sebaiknya juga ada pakar pendidikan usia dini yang memiliki pengetahuan tentang ciri-ciri anak berkebutuhan khusus seperti autis. Sehingga lebih cepat tertangani," ujarnya.
Autisme cenderung merupakan kondisi seumur hidup, karenanya identifikasi, penanganan dan support sedini mungkin mutlak diperlukan untuk menolong anak autis untuk dapat hidup berbaur dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Semakin dini seorang anak dideteksi dan langsung mendapat terapi, semakin besar kemungkinan kesembuhannya. Secara umum, anak autis dikatakan "sembuh" bila mampu hidup mandiri (sesuai dengan tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lancar serta memiliki pengetahuan akademis yang sesuai anak seusianya.
Komunitas alami
Professor Ho Lai Yun, dokter anak dari Singapore General Hospital, menyatakan, membangun dan mengembangkan anak berkebutuhan khusus, termasuk autis, hanya dapat dimulai di dalam komunitas alaminya atau di tempat mereka tinggal dan berinteraksi.
Informasi yang lengkap tentang anak autis serta hubungan yang mendalam, penting untuk perawatan dan perkembangan anak. Jika anak autis dimasukkan dalam playgroup atau taman kanak-kanak, para guru harus berkomunikasi secara teratur dengan orangtua si anak. Hal ini berpengaruh terhadap pembelajaran dan perkembangan kemampuan anak.
Lai Yun juga menambahkan, para guru, terapis dan orangtua anak autis harus mampu mengenali kelemahan dan kelebihan anak. Sering terjadi, sisi positif anak autis tidak disadari karena tertutup sifat-sifat negatif.
"Cari tahu apa talent si anak, apa yang disukainya dan perbaiki kelemahannya. Orangtua harus berani memberi kesempatan pada anak penyandang autis" kata Lai Yun di depan peserta seminar tentang anak Autis, Kamis (22/6) di Jakarta.
Mendidik anak autis bukan hal sederhana. Memandirikan anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti autis seharusnya bukan hanya kewajiban orangtuanya semata, tetapi menjadi tugas semua pihak sebagai satu komunitas.
di kutip dari beberapa Sumber:
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/04/06/brk,20090406-168544,id.html
http://manise777.multiply.com/reviews/item/109
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar