Selasa, 27 April 2010

Kasus Autistic Disorder

Pada kesempatan ini saya juga ingin berbagi pengalaman, yang mudah-mudahan bermanfaat. Anak saya yang pertama (Lahir 1993) didiagnosa sebagai penyandang Asperger Syndrome (AS). Saya sebut "penyandang" karena setuju atas usul Ibu Dyah Puspita untuk tidak menyebutnya sebagai "penderita", walaupun saya kurang setuju dengan pernyataan bahwa si anak tidak menderita tetapi hanya orang tuanya. Khusus untuk anak penyandang AS, pada saat masih kecil mungkin tidak menderita, akan tetapi saat mereka telah beranjak dewasa, dan mulai mengerti, bisa jadi yang paling merasakan "penderitaan" adalah si anak itu sendiri. Misalnya, pada saat dia melihat begitu mudahnya temannya bercanda, bergaul, berinter-aksi dengan sesama teman, sedang untuk mereka sangat sulit. Belum lagi kalau harus menghadapi kasus bullying. Anak AS biasanya, karena IQ nya cukup tinggi, dapat bersekolah di sekolah reguler. Kembali kepada pengalaman saya, sebenarnya jauh sebelum didiagnosa oleh dokter, dari buku-buku & info via internet, saya dan suami sudah mengetahui bahwa anak kami hampir dapat dipastikan sebagai penyandang Asperger Syndrome. Saat itu, keluarga besar kami bahkan tidak menyadarinya kalau anak kami penyandang AS. Mungkin karena memang belum banyak orang yang mengerti tentang Autisme apalagi Asperger. Anak saya juga sepintas terlihat normal, tidak pernah menggangu teman, tidak hiperaktif dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Sampai usia kurang lebih 18 bulan, pertumbuhan anak kami normal-normal saja. Dia begitu cepat bicara, berjalan, mau dipeluk, menjawab bila ditanya. Umur 1 tahun sudah mengenal huruf dari A-Z, mengenal angka 1-20, cerdas dan kuat sekali ingatannya. Hanya kelihatan terlalu penakut dan agak clumsy, takut air, susah tidur di malam hari. Saat itu kami belum tahu kalau hal-hal tersebut ada hubungannya dengan masalah sensori. Ketika usia kurang lebih 3 tahun, saat masuk sekolah (pre-school) baru diketahui bahwa dia tidak bisa berinter-aksi (bersosialisasi) dengan temannya. Gurunya melaporkan juga bahwa dia tidak pernah bermain, lebih asyik sendirian, tidak bisa melakukan permainan layaknya anak-anak, lebih tertarik pada objek-objek tertentu seperti serangga, binatang & hal-hal yang berbau science (luar angkasa), saat guru menerangkan tidak pernah melihat guru, walaupun sama sekali tidak mengganggu temannya. Akan tetapi gurunya bilang bahwa dia sangat cerdas, walau sepertinya tidak mendengarkan tetapi kalau ditanya, dapat menjawab dengan cepat dan benar. Bingung.... apalagi ketika sering kumpul dengan teman & keluarga lain yang juga bawa anak sebaya, jelas sekali bedanya. Kalau anak lain bercanda, berlari gesit, main slide, swing dengan lincahnya. Anak saya diam dan cuek. Dari bingung meningkat ke was-was.... akhirnya ....berburu informasi. Jaman sekarang info sudah tersebar di mana-mana, tapi tidak saat itu (tahun 1990-an). Pernah kami berpikir, mungkin anak kami termasuk "Difficult Child", karena dia tidak bisa menerima sesuatu yang tidak disukai, kadang cepat menjadi marah oleh hal-hal sepele. Tapi ternyata tidak tepat juga. Sambil tetap mencari info, kami mulai merespon "kelainan" anak kami dengan intervensi dan stimulasi. Melihat anak kami begitu tertarik pada hal-hal benda, binatang (nature), bahasa asing, pelajaran eksak, maka kami pun mensupply segala buku dan mainan yang menunjang agar ketertarikannya berkembang menjadi sesuatu yang berguna. Anak kami juga sangat disiplin dan memegang prinsip kebenaran (cenderung sangat kaku) misalnya saat supir tetap menjalankan mobil padahal lampu merah menyalah, dia akan sangat marah. Rutinitas sehari-harinya juga sulit diubah. Anak kami juga tidak dapat berkomunikasi/ berinter-aksi dengan teman sebaya (karena objek ketertarikan mereka sangat berbeda). Melihat itu semua, kami sampai pada kesimpulan bahwa anak kami penyandang Asperger Syndrome. Mulai sejak itu kami berusaha memberikan terapi sendiri sambil berdoa. Kami memberikan direct teaching tentang banyak hal, tidak jemu-jemu memberikan nasihat/ajaran tentang hal-hal yang berlaku umum, termasuk etika misalnya apabila teman menyapa, harus menyahut, apabila teman bercanda, harus merespon dan jangan marah karena teman tsb tidak bermaksud jahat (semacam etika pergaulan). Semua anggota keluarga terutama adik-adiknya sangat membantu dalam proses belajar berinter-aksi tersebut, terutama mengajarkan berbagai macam permainan yang umum dilakukan anak sebaya dia. Walaupun belum ke dokter manapun, tapi berdasarkan info yang kami dapat, kami mulai berusaha memberikan makanan yang tidak terlalu banyak mengandung gluten dan casein. Sangat sulit memang. Susu saya ganti dengan yang tidak mengandung gluten & lactosa. Beruntung anak kami termasuk anak yang gampang makan, karena dia tahu bahwa apabila tidak makan, tubuh akan lemah dan bakteri/virus akan menjadi kuat. Dalam berbagai kesempatan, kami coba menjelaskan pada anak kami bahwa dia berbeda dengan anak lain dan ternyata hal itu juga disadari olehnya (amazing yah....) dan kami orang tuanya sedang berusaha untuk membuat perbedaan itu semakin tidak nyata. Pada saat kami menyadari anak kami penyandang AS, sebenarnya kami sudah berusaha mencari dokter ahli yang biasa menangani Asperger, sayang kami tidak berhasil, karena memang belum banyak dokter/psikiater yang mendalami autisme & asperger. Suatu hari saya berkonsultasi dengan Dr. Hardiono (spesialis anak, sekaligus biasa menangani anak penyandang autis) yang menyarankan saya pergi ke Dr. Dewi di Bandung (Dokter spesialis Anak, yang juga mendalami bidang Autisme/Asperger). Dr. Dewi lebih menekankan sistem terapi sensori integrasi (pelatihan fisik) untuk mengaktifkan otak yang rusak. Setelah konsultasi, beliau menganjurkan lebih banyak aktifitas di luar (mendaki gunung, berenang). Terapi sensori integrasi hanya sempat kami lakukan 2 kali karena jarak Jakarta-Bandung yang cukup jauh. Setelah itu kami lebih menerapkan kegiatan out-door dan mencoba pengobatan alternatif (pijat badan dan kepala) di Bogor yang kelihatannya cukup efektif. Saat anak saya berumur 9 thn (kelas III SD), kondisinya sudah lebih baik. Anak saya mulai bisa bercanda dengan adik-adiknya, bahkan dengan beberapa temannya (terutama anak yang baik, tidak suka iseng & mengejek), sudah bisa memberikan perhatian pada orang-tuanya misalnya meminta saya beristirahat kalau kelihatan lelah. Dengan pengalaman tsb, saya hanya berusaha mengatakan bahwa yang paling bisa menolong dan membuat anak penyandang ASD menjadi lebih baik adalah orang tuanya sendiri. Seandainya benar, apa yang dikatakan oleh para ahli bahwa penyandang autis, sampai saat ini belum dapat disembuhkan, minimal kami (dan juga pasti para orang tua lain) berharap bahwa mereka dapat menjadi orang yang berguna dan mandiri. Demikian perkenalan saya. Sumber: http://puterakembara.org/milis/archives5/00000009.shtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar