Sabtu, 24 April 2010
Kasus Crouzon Syndrome
Assalamu'alaikum WW.
Perkenankan saya bercerita sekali lagi mengenai putri saya yang istimewa dalam
hubungannya dengan pendidikan. Mudah-mudahan cerita ini dapat menimbulkan
inspirasi pada teman-teman dalam berhubungan dengan anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus.
Anak saya didiagnosa Crouzon Syndrome pada usia 1,5 tahun oleh seorang dokter
dari Australia (kebetulan dia punya jadwal datang ke Jakarta 2 X setahun).
Perbedaannya sudah langsung tampak sejak lahir. Perbedaan penampilan fisik ini
diiringi pula dengan gejala lain, yaitu matanya mudah lelah dan iritasi,
tidurnya ngorok, sulit menelan makanan, kurang pendengaran, gigi rapuh. Pada
tahun pertamanya fisiknya lemah dan perkembangannya lambat. Dan yang paling
bikin ibunya stress, dia sangat sensitif, mudah menangis dan mengamuk. Kalau
menangis bisa menghabiskan waktu 1 jam tanpa bisa dibujuk, hingga akhirnya
berhenti karena kelelahan.
Setelah pertemuan saya dengan dokter dari Australia itu, diputuskan untuk
dilakukan operasi (rekonstruksi tulang tengkorak kepalanya) untuk menyelamatkan
perkembangan otak dan syaraf matanya, sebab bila tidak, akan mengganggu
perkembangan mental dan penglihatannya .
Pada usia 2 tahun (1996) putri saya di operasi di Women and Children Hospital
Adelaide Australia oleh Dr. David David. Kami berada di sana selama 1 bulan.
Sejauh yang saya tahu, operasi semacam itu belum dapat dilakukan di Indonesia
saat itu.
Terus terang saya sangat terkesan dengan sistem kerja di sana, yang terstruktur
dan melibatkan satu tim yang bekerja sinergi. Bukan hanya kesehatan fisik
pasiennya saja yang diperhatikan, tetapi juga kesehatan mentalnya. Oleh karena
itu peran psikolog dan pekerja sosialnya sangat besar. Mereka juga memberikan
dukungan yang sangat positif terhadap keluarga pasien agar selalu optimis.
Kondisi ini secara tidak langsung juga mendukung pada proses pemulihan anak.
Ini merupakan satu operasi dari serangkaian operasi yang mungkin akan
dihadapinya lagi. Operasi berikutnya baru dapat dilakukan bila anak sudah
berusia remaja. Dari beberapa kasus yang saya ketahui, kasus seperti ini
membutuhkan belasan kali operasi.
Sepulang dari sana, saya diberi PR untuk penanganan anak saya selanjutnya. Putri
saya (karena kurang pendengaran) harus mengikuti terapi bicara untuk
mengembangkan kemampuan komunikasinya, terapi ini dijalani selama 2 tahun,
sempat berhenti karena kondisi sosial politik di Jakarta tidak mendukung
(kebetulan tempat terapinya di Jalan Salemba yang seringkali demo mahasiswa).
Dilanjutkan lagi dengan terapi bahasa 6 bulan sebelum masuk SD.
Selain terapi, dia juga rajin ke dokter karena sering sakit pilek (konstruksi
hidungnya membuat dia gampang sakit dan susah sembuh), rajin ke dokter gigi
karena giginya yang rapuh, gampang bolong meski rajin disikat. Dia juga pakai
kacamata prisma, karena jarak antar matanya yang terlalu jauh menyebabkan otot
matanya bekerja lebih keras untuk melihat jarak dekat (padahal dia senang sekali
membaca, menulis dan menggambar). Saya juga nggak bisa mengharapkan ia makan
banyak, karena kerongkongannya yang kecil menghambat dia makan terlalu banyak.
Untuk masalah fisik, saya tinggal mengikuti panduan dari dokter saja. Namun
untuk masalah konsep diri, sosialisasi dan pendidikannya, keluarganya harus
berperan aktif.
Saya masukkan anak saya ke Kelompok Bermain pada usia 2,5 tahun karena saya
melihat dia sangat tidak percaya diri dan dependen. Saya berharap dia memperoleh
kesempatan bersosialisasi lebih banyak. Sayangnya dia sempat ditolak karena
disangka terbelakang dan kepseknya saat itu khawatir kalau teman-temannya yang
lain akan ketakutan.
Saya sedih sekali saat itu, saya katakan kepada kepala sekolahnya, bahwa saya
tahu benar kalau anak saya tidak terbelakang, dan dia tidak akan mengganggu
teman-temannya (misalnya, memukul), tapi memang anak saya berbeda. Justru di
sini saya berharap dengan keberadaan anak saya tidak hanya menguntungkan anak
saya saja, tapi juga menguntungkan anak lain, karena anak-anak lain menjadi
tahu, bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini, dan mereka juga jadi
tahu bagaimana caranya bergaul dengan teman yang memiliki kekurangan atau
keterbatasan tertentu.
Singkatnya akhirnya anak saya sekolah di situ sampai TK-B. Saya sengaja memilih
sekolah dengan kelas kecil (jumlah murid sedikit, hanya 12 orang dengan 1 orang
guru) dengan harapan perhatian guru tidak terlalu terbagi, karena dengan
keterbatasan pendengarannya, guru sering kali harus mengulang instruksi 2 sampai
3 kali pada anak saya (anak saya tidak mau pakai hearing aid karena dirasa
mengganggu).
Selama anak saya TK saya mulai hunting mencari SD yang kira-kira dapat menerima
anak saya dengan kondisinya. Menurut saya anak saya membutuhkan sekolah dengan
metode active learning, jumlah murid sedikit sehingga guru dapat menangani murid
secara individual dan yang terpenting lingkungan sekolah yang kondusif untuk
perkembangan konsep dirinya. Saya juga menghindari sekolah yang menerapkan
sistem seleksi dengan menggunakan tes kecerdasan, karena saya khawatir meski
anak saya berhasil masuk, namun akan mengalami stress karena beban belajar yang
tinggi (biasanya sekolah dengan sistem seleksi ini mengharapkan muridnya relatif
homogen untuk memudahkan penyampaian pelajaran).
Alhamdulillah saya mendapatkan sekolah yang sesuai dengan harapan. Sekolah
sangat welcome dengan anak saya (dan juga anak-anak lain yang mempunyai
kebutuhan khusus). Setelah anak saya mengikuti try out (bukan seleksi, tapi
lebih pada mengetahui sampai sejauh mana kemampuannya), saya bersama suami saya
diundang untuk berdiskusi dengan pihak sekolah.
Pertanyaan awal yang sangat menyentuh saya saat itu adalah ketika pihak sekolah
bertanya, "Apa yang Bapak dan Ibu harapkan dari sekolah untuk perkembangan putri
Bapak dan Ibu?"
Intinya, diskusi kami dengan pihak sekolah membicarakan apa saja yang akan
dilakukan oleh pihak sekolah (berkaitan dengan kebutuhan khusus anak) baik
menyangkut proses belajar mengajar di kelas, sosialisasi dengan teman dan juga
kebutuhan khusus fisiknya (harus gosok gigi setiap selesai makan, dan
sering-sering membersihkan mata), apa yang perlu dilakukan orang tua di rumah,
termasuk juga mempersiapkan kakaknya untuk menerima pertanyaan-pertanyaan dari
teman-temannya mengenai adiknya yang "berbeda". Pokoknya kami membahas segala
hal yang berpeluang menjadi masalah.
Alhamdulillah sekali lagi. Saat ini putri kami sangat bersemangat sekolah,
motivasi belajarnya sangat tinggi, terutama membaca, menulis dan menggambar.
Masih agak pasif dan pemalu, namun dia tidak menolak untuk bergaul dengan teman
yang mengajaknya.
Saya amati dengan metode active learning dan pendekatan anak secara individual
(memperlakukan anak sesuai dengan potensi dan kebutuhan anak), anak saya
memperoleh perkembangan pesat dalam pemahamannya terhadap materi pelajaran yang
diberikan. Di samping itu keberadaan anak-anak yang berkebutuhan khusus di
sekolah memberikan nilai tambah bagi anak-anak yang lain sehingga dapat
mengembangkan kemampuan empati terhadap temannya.
Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan orang tua yang lain, perkembangan positif ini
tidak hanya dialami anak saya tapi juga anak-anak lain, misalnya, anak Autis,
ADD, ADHD, Asperger, dan lain-lain.
Satu hal yang mungkin agak mengganggu adalah masalah biaya yang tidak sedikit.
Akibatnya tidak setiap anak dapat memperoleh kesempatan menikmati pendidikan
yang baik.
Nggak ada salahnya kalau saya mengulangi lagi, nampaknya perlu dipikirkan cara
lain agar sedapat mungkin banyak sekolah/lembaga pendidikan yang dapat
memberikan kesempatan pada anak-anak baik yang normal maupun yang memiliki
kebutuhan khusus untuk dapat berkembang optimal, baik dari segi kognitif,
afektif, maupun psikomotoriknya.
Sekian dulu
Wassalamu'alaikum WW.
Yeti
Sumber:http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/message/763
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar