Sabtu, 24 April 2010

Kasus Down Syndrom

Awalnya saya mengira dua karung plastik besar yang isinya penuh dengan botol bekas, plastik, dan tempat cat, yang sudah tidak layak pakai itu adalah sampah. Entah siapa yang membuangnya di perempatan jalan masuk ke rumahku. Terbesit niat untuk memindahkan ke tempat sampah, dari pada di jalan pasti tak elok dipandang. Belum pun niat itu saya jalankan, seorang bocah yang memakai baju salah satu parpol dan telah kotor karena lumpur datang dan mengambil karung besar itu. Dipikulnya karung itu dengan kayu yang memang terletang di tempat yang sama. Ketika melihatku bocah itu tersenyum. Kacamata hitamnya dibuka dan memperlihatkan deretan gigi yang kuning. Lalu ia pun pergi sambil melafazkan “Ngeng, ngeng, ngeng, ngeng.” “Dia meniru penjual roti yang sering lewat jalan ini setiap pagi,” ungkap Rasyidah, tetangga saya yang rumahnya langsung berhadapan dengan jalan. Ada-ada saja tingkah bocah yang dipanggil Cut Mad itu. Karung besar dan kayu ia umpamakan tempat menaruh roti yang dipikul penjual. Lalu suara “ngeng, ngeng” itu menjadi pengganti terompet yang kerap dibunyikan ketika sang penjual roti melewati perumahan. Tak hanya itu, Cut Mad juga sering berdiri di perempatan jalan sambil menengadahkan kardus mie instan pada setiap orang yang lewat di depannya. Dan tahukah apa maksudnya dari tingkahnya itu? Ia meminta sedekah dari pengguna jalan karena beberapa waktu lalu ia melihat bapak-bapak yang meminta sumbangan di jalanan sambil menengadahkan kardus untuk pembangunan mesjid. Sebenarnya Cut Mad tidak bisa digolongkan anak-anak lagi. Umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun. Tapi karena keterbelakangan mental yang di deritanya membuat Cut Mad berkelakuan layaknya anak kecil. Ia menderita down syndrom. Tandanya terlihat jelas dari bentuk wajahnya yang menyerupai orang mongol (mongoloid). Kepalanya relatif lebih kecil dari normal. Lidahnya tebal dan pendek sehingga sulit bagi kita untuk memahami maksud dari perkataannya. Menurut saya, Cut Mad adalah penderita retadarsi mental yang cukup kreatif. Buktinya ia dapat meniru apa saja yang menurutnya menarik. Tak hanya menjadi penjual roti dan peminta sumbangan, lelaki ini juga terkadang suka mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual. Cut Mad juga kerap berdandan sangat rapi. Lebih rapi dari kita yang normal. Dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana jeans lengkap dengan tali pinggang, kacamata hitam, sebatang pena yang diselipkan pada kantong baju, dan ponsel mainan yang digantung di pinggang. Sangat necis. Kalau dilihat sekilas, orang-orang tak menyangka kalau Cut Mad adalah anak yang menderita kelebihan kromosom 21. Tak jarang ketika ia mangkal di perempatan jalan, orang-orang menanyakan alamat padanya. Lalu dengan pe-denya Cut Mad menjelaskan alamat yang dimaksud dengan bahasanya. Setelah itu orang baru paham kalau Cut Mad menderita keterbelakangan. Jika dilatih, saya yakin Cut Mad lebih bisa mandiri dan kreatif dari saat ini. Sayangnya, ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jangankan untuk menyekolahkan Cut Mad, abang dan kakaknya yang normal saja hanya mampu menamatkan sekolah dasar. Selain itu, persepsi masyarakat terhadap penderita down syndrome masih buruk. Tak jarang Cut Mad dan penderita yang lainnya dikucilkan di masyarakat. Mereka kerap mendapatkan predikat “bodoh” dan “idiot” yang tak mampu berkreatifitas. Padahal mereka menderita sindrom down yang jika terus menerus dilatih akan menjadi anak yang mandiri dan mampu beraktivitas layaknya orang normal. Sumber: http://liza-fathia.com/2010/03/suatu-siang-bersama-down-syndrome.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar