Rabu, 21 April 2010
Kasus kesulitan Membaca pada Anak
"Keluarga dengan anak sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang. Termasuk saya yang membayangkan dapat mengasuh anak cerdas, riang, dan sehat. Sepintas, mungkin orang melihatku memiliki tiga anak normal, sehat, dan cerdas. Namun jika mereka mengamatinya lebih lama, maka mereka akan tahu, beratnya perjuangan yang harus kuhadapi.
Kenyataan tersebut dimulai saat saya mengandung anak pertama yang disambut gembira. Namun, ujian pertama sudah harus saya hadapi karena bayi yang kemudian diberi nama Widiarti Kusumoningtyas (12) terlilit tali pusat sehingga proses melahirkannya berlangsung hingga 28 jam.
Selanjutnya, keterlambatan mulai terlihat pada si sulung yang akrab dipanggil Ajeng. Dia baru bisa berjalan di usia 16 bulan dan tidak dapat berbicara sama sekali hingga usia dua tahun. Dia juga tidak mengalami fase merangkak saat belajar berjalan.
Kelainan baru terdeteksi saat Ajeng memasuki taman kanak-kanak. Anakku didiganosis disleksia dan mengalami gangguan perilaku. Dia kesulitan saat harus belajar menghafal. Di taman kanak-kanak, jika anak lain sudah dapat menghafal butir Pancasila atau beberapa bait lagu, maka Ajeng tidak bisa menghafal sama sekali. Padahal, daya ingatnya sangat tinggi. Di usia dua tahun, dia bisa membedakan, mana mamalia dan ikan. Apa saja perbedaan keduanya. Dia juga cukup lancar membaca abjad, mulai a hingga z. Tapi saat huruf-huruf itu dirangkaikan, dia tidak dapat membacanya. Dia tahu huruf m dan a, tapi ia kesulitan membaca suku kata "ma". Kesulitan itu berlanjut hingga Ajeng masuk sekolah dasar. Tak ayal lagi, prestasi yang diraih Ajeng di tahun pertama sangatlah buruk.
Jika membaca saja susah, apalagi menulis. Jangan ditanya bagaimana tulisan Ajeng. Ia kerap terbalik menulis huruf atau bahkan kehilangan beberapa huruf saat menulis kalimat. "Apa kabar" menjadi "ap kabr". Ia juga sering mengamuk dan mencari perhatian. Pernah suatu hari Ajeng sengaja memutar-mutar pemukul lonceng berukuran besar dari besi. Terang saja teman-temannya menjauh dan berlari. Seakan mendapatkan perhatian dari lingkungan, ia lantas mengejar-ngejar teman-temannya tersebut.
Beruntung saya menemukan sekolah yang pas baginya selain terapi yang intensif untuk Ajeng, sehingga perilakunya mulai membaik. Proses sosialisasinya juga bagus, bahkan kemampuan akademiknya berkembang pesat. Agar proses belajarnya optimal, saya menyekolahkan Ajeng di sekolah dasar anak berkebutuhan khusus Pantara.
Sumber:
http://www.tabloid-nakita.com/Jendela/jendela10492.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar